Fajar telah tiba, menandakan sebentar lagi matahari akan terbit. Saat itu terlihat sebuah kapal mendekati dermaga sebuah Desa, yang mencoba mengangkut sejumlah orang untuk ditumpangi menuju Kota.
Sejenak terlihat sosok lelaki memegang tangan salah satu anaknya menuju dermaga dan bergabung bersama penduduk desa yang juga menyambut kapal itu saat sudah waktunya berlayar, sambil berpesan pada anaknya yang baru lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di desa itu.
“Ayo nak sudah waktunya kamu pergi, ingat kamu harus melanjutkan pendidikanmu ke perguruan tinggi di kota nanti. Jaga dirimu, ayah percaya kamu bisa sukses suatu saat nanti dan jangan khawatir ayah akan terus mengirimmu uang agar kamu tidak kekurangan di sana nak.” Kata lelaki bernama Solleh pada anaknya.
“ Iya ayah Sabri pasti bisa jaga diri di kota kok, ayah doakan semoga aku sukses dan bisa membuatmu bangga ayah.” Jawab Sabri anak dari lelaki itu.
Gambar. Keringat seorang petani. Sumber. pixabay.com |
Sejak itu kapal telah mulai berlabuh menjauh dari dermaga sebuah desa yang sebagian besar penduduknya bertani dalam sumber pendapatan. Namun sejenak terlihat wajah sosok pak Solleh dengan linangan air mata di pipinya, seakan tak rela melepaskan anaknya hidup di tanah rantau tanpanya dan tak ada lagi yang menemaninya di rumah setelah istrinya meninggal dunia sewaktu Sabri masih kecil.
Tapi apa boleh buat, semua ini demi impian Sabri agar menjadi anak yang sukses dimasa akan datang. Sebab, ada perasaan malu dari sebuah kelurga di desa itu jika anak mereka tidak melanjutkan pendidikan dan memilih tinggal di desa menjadi petani seperti kedua orang tua mereka.
Setelah sekian lama kapal berlayar mengarungi lautan luas, akhirnya sampai juga di kota. Dengan langkah awal turun dari kapal yang telah mencapai dermaga kota itu, Sabri pun berjalan mencari rumah kontrakan untuk di tempati. Ketika telah mendapatkanya langsung saja Sabri mendaftar di salah satu Universitas. Setelah tau dirinya diterima, akhirnya ia menjadi seorang mahasiswa dan menjalani perkuliahan seperti anak-anak pada umumnya di kota itu.
Semenjak itu pak Solleh terus merawat kebunnya yang dipenuhi tanaman cengkih dan pala, agar bisa dipanen nanti untuk kebutuhan Sabri anaknya. Sebagaimana tanaman itu pernah menjadi incaran bangsa penjajah yang ingin menguasai dan membuat orang-orang di desa itu menderita akibat kolonialisasi demi menguasai sumber rempah-rempah pada zaman dahulu.
Namun kehidupan Sabri sebagai mahasiswa terus berlanjut, saat itu juga ia mulai memiliki seorang teman yang juga sekampus dengannya. Ali namanya, latar belakang teman Sabri itu sungguh berkecukupan dan sangat akrab dengannya saat itu, dan sering mengajaknya jalan-jalan maupun main ke rumahnya. Sabri sempat kagum dengan rumah yang megah dan barang-barang milik Ali temannya itu.
“Wah...Ali kamu beruntung yah, kedua orang tuamu memberimu segalanya untukmu.” Puji Sabri pada Ali yang hidup berkecukupan.
“Iya aku bersukur dengan ini, sebab kedua orang tuaku menyayangiku.” Sekilas jawab Ali ketika itu, yang membuat Sabri ingin hidup sebagaimana Ali miliki.
Saat semakin akrab layaknya sahabat dengan Ali, Sabri juga sering dijemput ke kampus maupun pun saat pulang nanti oleh temannya itu. Ketika sabri selalu bersamanya, ia selalu melirik kendaraan temannya itu, yakni sebuah motor mewah yang selalu dikenakan Ali saat memboncengnya.
Kelak suatu malam Sabri mengirim pesan kepada pak Solleh ayahnya, yang sempat membelikan sebuah telepon genggam padanya saat musim panen lalu.
“Ayah,,, tolong belikan aku motor dong buat Sabri pake hari-hari nanti saat pergi kuliah. Kasihan Sabri kelelahan berjalan, sebab kampus sabri jauh ayah.” Pinta Sabri pada ayahnya saat mengirim pesan lewat telepon genggamnya.
Di tengah malam saat tertidur lelap pak Solleh dikagetkan dengan sebuah pesan dari telepon genggamnya, dan melihat isi pesan dari anaknya Sabri. Sehingga tak lagi bisa tidur dan menunggu matahari terbit untuk memenuhi permintaan anak satu-satunya itu.
Ketika pagi tiba pak Solleh dengan kaki keriput dipenuhi goresan luka telah bergegas menuju kebunnya di tengah hutan belantara, yang juga di penuhi hewan buas tanpa tau kapan saja bisa menyerang pak Solleh, ditambah berjalan dengan medan seperti mendaki puncak gunung.
Namun itu semua tak membuat pak Soleh gentar, dan ketika kembali dari kebunnya itu ia harus memikul beban berat dipundaknya yang berisi sekumpulan biji pala dari kebunnya dengan berjalan seperti turun gunung hutan yang memungkinkan kondisi kakinya banyak goresan luka.
Butuh waktu untuk membeli motor anaknya. Sebab, pak Solleh harus setiap harinya pergi ke kebunnya itu, yang belum lagi ia mengolah dengan menjemurkan cengkih dan biji pala di tengah terik matahari panas agar cepat kering. Saat itu semua sudah dilakukannya, baru bisa di jual ke pasar yang juga membuat pak Solleh harus berjalan jauh dengan jarak hitungan kilo meter.
Tapi pada akhirnya Sabri mendaptkannya, saat sekian lama menunggu dari jerih paya seorang ayah, walaupun motor miliknya tidak sama seperti milik Ali temanya itu. Namun kehidupan Sabri di kota itu terus berlagak seperti orang berada, yang hari-harinya menghamburkan uang dengan teman-temannya di mall maupun cafe-cafe mahal dan tidak pernah kembali ke desa untuk menemui ayahnya.
Walaupun pak Solleh pernah meminta pada Sabri untuk sering pulang ke desa dengan sebuah pesan dari telepon genggamnya.
“Assalamuallaikum anaku, apa kabar kamu disana?. Sungguh doa ayah selalu menyertaimu agar Tuhan selalu menjagamu dalam setiap langkah. Dan jika ada waktu luang, seringlah kembali ke desa melihat ayahmu ini, ayah merindukanmu nak.” Pesan pak Solleh untuk Sabri anaknya, seraya mengungkapkan kerinduan.
Sejenak terasa getaran di saku Sabri, saat sedang bersenda gurau bersama dengan teman-temannya, yang ternyata sebuah pesan dari ayahnya ketika telah mencoba melihat. Tapi apa boleh buat Sabri malah mengabaikan pesan tersebut, seakan ia sedang sibuk.
Namun Sabri membalas pesan ayahnya itu hanya ketika dia membutuhkan uang dari pak Solleh dalam jangka waktu lama. Pernah ia mencoba mengirim sebuah pesan untuk ayahnya.
“Ayah maaf tidak sempat membalas setiap pesan yang pernah ayah kirim, soalnya banyak kesibukan kampus saat itu. Tapi kali ini Sabri dalam studi akhir dan membutuhkan beberapa uang untuk melunasi uang semester. Dan jika telah wisuda nanti Sabri pasti akan kembali ke desa bertemu ayah kok.” Sebuah pesan dari Sabri sewaktu meminta beberapa uang semester dan menjanjikan bahwa ia akan kembali ke desa ketika ia wisuda nanti.
Semenjak saat itu Pak Solleh dengan usaha keras mencari uang dari kebunnya yang banyak menguras keringat ayahnya itu seperti biasa, sebab hanya itu mata pencaharian ayah Sabri di desa. Namun pak Solleh sudah bertambah tua dan sakit-sakitan, yang memungkinkan agar Sabri pulang dan melihatnya sebentar, dan saat itu juga Sabri tidak pernah tau tentang kabar ayahnya lagi.
Sehingga suatu saat ketika setelah melalui masa-masa perkuliahan, yang pada akhirnya sampai ia lulus dari perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan tetap, ia Sabri tetap tidak pernah kembali ke desa, sebab baginya tidak perlu karena sudah wisuda dan mendapat pekerjaan itu sudah cukup membuat ayahnya bahagia.
Namun kelak ia mendapat kabar dari Ali teman kuliahnya itu, tentang ayahnya di desa sejak sekian lama tak melihatnya, bahwa diminta kembali ke desa sebab ayahnya pak Solleh sudah sakit keras dan ingin bertemu anaknya Sabri. Serentak ia kembali kedesanya, tapi apa boleh buat sesampainya disana pak Solleh ayahnya sudah tidak bernyawa lagi, telah meninggal dunia. Dan tak ada lagi yang dapat membendung air mata Sabri melihat ayahnya terbujur kaku di tempat tidur.
Sebelum itu warga desa sempat mencoba menghubunginya namun ia tak hirau, pikirnya hanya sakit biasa. Maka sempat salah satu dari warga desa juga pernah mengenal sosok teman lama yang bernama Al,i dan dari situlah mereka mencoba memberikan kabar yang berakhir duka itu.
Sehari berlalu sejak jenazah pak Solleh dimakamkan, dan hari ini Sabri harus mencari kayu bakar di kebun ayahnya dalam membuat sebuah ritual membaca doa untuk pak solleh malam nanti. Saat itu ia berjalan mendaki gunung menuju kebun, sungguh ia dibasahi keringat yang saat itu juga harus memikul turun gunung kayu bakar itu melewati jalan yang pernah pak Solleh ayahnya lalui.
Ketika mencoba untuk kembali, ditengah perjalanan pulang ia menurunkan dengan serentak beban kayu bakar dipundaknya karena kelelahan. Sejenak ia teringat akan usaha sekeras ini yang pernah dilakukan ayahnya selama membiayai ia kuliah, sungguh ia Sabri meneteskan air mata membayangkan dan telah merasakan separuh beban hidup ayahnya selama ini.
Di atas semua penyesalan yang telah ia perbuat sampai tak sempat meminta maaf pada pak Solleh ayahnya, sabri pun mencoba menguatkan hati lalu berjalan turun dengan beban hati yang baru saja merasa kehilangan, terus lanjut berjalan memikul beban biji pala dengan air mata yang mengalir tak henti-henti sampai kerumahnya.
Sesampainya di rumah, ia Sabri mencoba masuk lalu duduk ke kamar ayahnya. Sejenak ia melihat foto sosok ibunya yang telah lama meninggal, dan pak Solleh ayahnya terpampang di dinding kusam itu. Tapi tanpa sengaja Sabri menemukan sebuah kertas di balik bantal tempat tidur ayahnya itu, yang ternyata berisi sebuah surat untuknya.
“Sungguh dalam kerinduan yang penuh harap padamu Sabri anaku. Sebuah kebahagiaan dalam hidupku hanyalah melihatmu bahagia, yang bukan berarti engkau jauh dan tidak bisa untuk saling menyentuh dan memelukmu. Bukan sukses dengan mendapatkan sebuah pekerjaan tetap yang berpenghasilan, tapi inginku engkau menjadi anak baik dihari kemudian, yang memperhatikan anak-anak terlantar dalam mengalami kesusahan itu, juga engkau bisa membantu dan berguna bagi mereka.
"Sungguh janganlah engkau menghardik mereka anaku, sebagaimana kita pernah mengalami kesusahan seperti mereka.” Sepucuk surat dari pak Solleh, yang tersimpan lama. Seraya membuat Sabri merasa suatu penyesalan saat itu yang tengah menatap foto kedua orang tuanya.
Tersadar akan sebuah surat yang ditulis pak Solleh saat menahan kerinduan pada anaknya Sabri. Ternyata ia menyimpan begitu lama, sebab setiap ia mengirimkan pesan pada Sabri namun merasa diabaikan oleh anaknya, membuat beliau memilih menyimpan surat itu di bawah bantal tempat tidurnya sampai menghembuskan nafas terakhir.
Hal itu seakan membuat suatu kesadaran waktu Sabri membacanya, bahwa apa yang diharpakan ayahnya tentang kebahagiaan dan kesuksesan adalah ketika anaknya berhasil menjalani proses pendidikan, yang semua itu menuju pada pribadi anaknya dalam memberikan suatu manfaat kebaikan pada orang-orang sekitar dengan akhlak mulia serta ikhlas dan bukan untuk mendapatkan pekerjaan dalam mengumpulkan harta demi kepentingannya sendiri.
Post a Comment