Kekerasan seksual sudah semakin banyak terjadi dan memakan banyak korban khususnya pada perempuan. Namun sikap masyarakat kita dalam melihat fakta tersebut mempunyai cara yang berbeda-beda, baik itu perilaku atau pandangan terhadap pelaku maupun korban kekerasan seksual.
Terkadang sikap yang dibangun oleh masyarakat kita seringkali tidak berpihak pada mereka yang menjadi korban, dan lebih parahnya lagi terdapat suatu perilaku yang sering disebut sebagai victim blaming.
Istilah ini mungkin banyak yang sudah mendengarnya atau melihat di situs-situs berita maupun media sosial. Namun taukah bahwa sikap yang cendrung pada victim blaming membawa dampak yang sangat merugikan pada siapa saja ketika istilah itu tertujua padanya, lantas apa yang dimaksud dengan victim blaming?
Untuk itu pada pembahasan ini akan menguraikan tentang apa itu victim blaming, bentuk-bentuknya dan dampak dari perilaku victim blaming.
Gambar. Victim blaming: Sikap menyalahkan korban, bentuk-bentuk victim blaming dan dampak victim blaming. Sumber. pixabay.com |
Apa itu Victim Blaming?
Istilah victim blaming awalnya diperkenalkan oleh William Ryan pada tahun 1971, victim blaming artinya sikap atau perilaku yang menyalahkan korban sebagai orang yang harus bertanggung jawab akan terjadinya suatu kejahatan, (Iqbal: 2020).
Di sisi lain pengertian victim blaming juga diungkapkan oleh (Koss and Harvey: 1991) victim blaming adalah suatu sikap pelaku untuk berupaya menemukan atau mencari celah-celah yang ada pada korban agar membuat mereka menanggung kesalahan atas setiap permasalahan atau bencana yang terjadi.
Dengan kata lain victim blaming artinya sikap menyalahkan korban yang mengalami peristiwa tertentu seperti kekerasan seksual. Misalnya ada seorang perempuan yang mengalami pelecehan atau pemerkosaan, maka yang disalahkan adalah bukannya pelaku melainkan korban pelecehan atau pemerkosaan.
Mereka tidak mau melihat apa yang dialami seseorang menjadi korban seperti kekerasan seksual tesebut dan tidak mau melihat dari perspektif korban. Sehingga korban bukannya dibela melainkan mendapatkan tanggung jawab atau beban ganda yang dialaminya, atau dengan kata lain korban menanggung peristiwa yang dialami dan stigma buruk dari masyarakat.
Bentuk-Bentuk Victim Blaming
Apa saja bentuk-bentuk perilaku victim blaming? Menurut (Campbell & Raja, 1999) bentuk-betuknya yaitu menyalahkan korban berupa tidak mempercayai cerita korban, menyalahkan korban, merendahkan tingkat keparahan serangan yang diterima, dan perlakuan tidak sesuai pasca tindakan kejahatan oleh pihak yang memiliki otoritas.
Lantas siapa saja yang sering melaukan victim blaming? Campbell & Raja (1999) juga menyebutukan pihak-pihak teresbut bisa saja orang terdekat korban yaitu teman, keluarga, kerabat, bahkan pihak yang bekerja di instansi tertentu seperti polisi, pengacara, hakim, dan tenaga medis.
Sebenarnya bentuk-bentuk dari sikap victim blaming ini sangat beragam, untuk itu akan diuraikan beberapa victim blaming selain yang dikemukakan di atas. Mislanya korban pelecehan seksual juga sangat beragam, sebagaimana menurut (Aulya: 2019) terdapat beberapa bentuk victim blaming pada korban pelecehan seksual diantaranya:
1. Tidak Adanya Sikap Simpati dan Empati
Ketiadaan sikap simpati dan empati dari masyarakat sehingga dapat menjadi pelaku victim blaming, karena suatu peristiwa yang berkaitan dengan seksualitas masih di anggap tabu. Selain itu tidak mau melihat dari perspektif korban atau tidak mendengar dan mempercayai cerita dari korban.
Di sisi lain kurangnya pengetahuan tentang hak-hak korban dan upaya solidaritas dari masyarakat dalam melindungi korban, menjadikan masyarakat minim akan sikap simpati dan empati. Sehingga lebih lebih cenderung menyalahkan kobran yang saat itu mengalami peritiwa buruk.
2. Menganggap Rendah Korban Pelecehan Seksual
Suatu perilaku masyarakat yang menganggap rendah korban pelecahan seksual ini sama halnya dengan normalisasi atau menganggap hal tersebut wajar-wajar saja. Di sisi lain alasan merendahkan ini terjadi karena apa yang disebut sebagai rap cultur, yaitu suatu kondisi dimana pemerkosaan dianggap lazim dan kekerasan seksual dianggap normal (Aulya:2019).
Menganggap lazim dan normal pada peristiwa kekerasan seksual membuat masyakat meremehkan korban pelecehan seksual, sehingga perilkau victim blaming sering terjadi. Ungkapan merendahkan korban seperti: "Makanya jangan gatal sama laki-laki" dan sejenisnya.
3. Menyalahkan Korban Pelecehan Seksual
Fenomena yang saat ini sudah semakin marak terjadi di ranah kekerasan seksual seperti pelecahan dan sampai pada pemerkosaan. Masih terdapat sikap masyarakat yang justru tidak membela korban, melainkan menyalahkan korban dengan dalil-dalil yang tidak masuk akal dan seakan tidak mempunyai perasaan.
Dalil-dalil pelaku victim blaming yang sering didengar dalam menyalahkan korban yaitu menganggap korban yang bersalah, karena menggunakan pakaian seksi sehingga memancing birahi pelaku pelecehan, menyalahkan korban karena pulang larut malam dan sebagainya.
Selain itu penyebab victim blaming terjadi karena budaya masyarakat yang lebih condong ke patriarki. Hal ini menjdi alasan paling populer untuk menyalahkan korban antara lain kepercayaan pada dunia yang adil, kesalahan atribusi, dan sistem patriarki yang masih sangat kental melekat pada masyarakat (The Canadian Resource Centre for Victims of Crime, 2009).
Msyarakat yang didominasi oleh budaya patriarki cenderung membuat kekuasan terletak pada kaum laki-laki, dan perempuan selalu salah, yang mengakibatkan banyak perilaku disrkiminasi pada perempuan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh (Sakina & Siti, 2007) bahwa budaya patriarki yang melakukan pembatasan pada perumpuan, telah menjadikan mereka mendapatkan perlakuan yang diskriminatif.
Baca Juga:
- Patriarki: Berikut ini Pengertian Patriarki Menurut Para Ahli, Contoh Budaya Patriarki dan Dampak Patriarki Terhadap Perempuan
- 15 Jenis Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan
- Mengenal Jenis dan Dimensi Kekerasan
Dampak Victim Blaming
Masayarakat yang didominasi oleh budaya patriarki lebih cenderung melakukan victim blaming, tentunya perilaku tersebut dapat memberikan dampak yang sangat buruk pada korban pelecehan seksual. Sebagaimana temuan penelitian (Shopiani et al., 2021) dampak victim blaming yaitu sebagai berikut:
1. Cenderung merasa malu dan menjadi aib
Terkadang ketika korban mencari dukungan di lingkungannya dengan menceritakan masalah yang dialami, misalnya kekerasan seksual. Maka korban sering di anggap oleh orang-orang sekitar sebagai orang yang telah mengumbar aibnya sendiri.
Fenomena ini diungkapkan dalam penelitian (Soraya: 2019) yang berjudul “Aku malu, ini aib” ungkapan yang sering dilihat dalam akun Instagram atau dalam kehidupan masyarakat ketika perempuan tidak berani untuk menceritakan kasus pelecehan seksual yang dialaminya karena merasa malu dan aib.
Dalam penelitiannya yang mencoba membuka opini tentang kasus pelecehan seksual dan meminta tanggapan pembaca dengan tujuan mengedukasi. Akan tetapi komentar tersebut justru menyalahkan korban kerena dianggap menceritakan aibnya sendiri dan kenapa harus diumbar. Walaupun mereka merasa hal itu untuk mengingatkaan korban, namun itu justru victim blaming.
2. Takut melaporkan kasus pelecehan seksual
Penelitian Astuti (2019) bahwa 93% dari 1636 responden yang mengalami pelecehan seksual tidak melapor kasusnya karena berbagai macam faktor yang ditemukan bahwa korban tidak mau melapor pelecehan seksual tersebut kepada penegak hukum karena faktor takut disalahkan.
Dengan tindakan victim blaming korban akan merasa bahwa tidak ada yang membela dan mendukung dalam memperjuangkan keadilan atas kasus pelecehan seksual yang dialaminya yang akhirnya korban memendam sendiri penderitaan yang dialaminya.
3. Trauma masa depan
Tindak pelecehan seksual sangat berdampak pada kesehatan mental korban pelecehan seksual setelah mendapatkan tindakan pelecehan seksual harus dihadapkan dengan tindakan victim blaming korban yang tidak bersalah menjadi orang yang disudutkan.
Victim blaming menyebabkan trauma bagi kehidupan masa depan korban merasa takut ketika ada orang yang dekat-dekat lalu tidak mencintai dirinya memandang buruk dirinya dan merendahkan diri sendiri.
Sehingga korban kehilangan arah selain itu korban pelecehan seksual yang mendapatkan victim blaming menjadi mudah insecure dan curigaan dengan orang jika ingin bercerita lalu korban merasa takut memakai baju terbuka sedikit atau ngepas karena kerap kali disalahkan karena pakaian yang dikenakan.
4. Depresi
Depresi adalah kondisi emosional yang ditandai oleh adanya kesedihan, ketakutan, perasaan tak berguna, perasaan bersalah, penarikan dari orang lain, sulit tidur, kehilangan nafsu makan dan seksual, kehilangan minat dan kesenangan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan sehari hari Davidson & Neale 1993 (dalam Dwiastuti 2015).
Korban yang mendapatk victim blaming dari masyarakat cenderung mengalami depresi, sebagaimana yang telah diungkapakan bahwa korban merasa malu, takut dan tidak ada lagi yang mendengar cerita serta mendukungnya. Maka hal inilah yang mengakibtkan korban mengalami depresi.
5. Percobaan bunuh diri
Korban pelecehan seksual yang mendapatkan perilaku victim blaming dari lingkungannya yang terus menyalahkan dirinya, dan telah ada perasaan bahwa tidak ada lagi yang mendukungnya, hingga depresi. Maka upaya untuk bunuh diri cenderung hadir dalam pikiran korban.
Fenomena ini diungkapkan oleh (Alfi: 2019) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa bukan saja disalahkan dan tidak mendapatkan dukungan, namun juga mahasiswa merendahkan korban dengan berkomentar yang buruk pada korban pelecehan seksual.
Penelitian tersebut juga menceritakan bahwa korban pelecehan seksual memendam semuanya yang dialaminya sendiri, karena tidak mendapatkan dukungan dari teman-teman sekitarnya selama dua minggu tidak pergi kemana-mana memilih berdiam di kosan.
Selalu merasa ketakutan dan tidak aman membuat korban berpikir untuk melakukan percobaan bunuh diri, karena merasa tidak adil dengan semua yang terjadi pelaku pelecehan seksual bisa hidup dengan tenang sedangkan beliau menanggung kesakitan atas pelecehan seksual yang dialaminya.
Referensi
Alfi, Imam. 2019. Faktor-Faktor Blaming Victim (Menyalahkan Korban) di Wilayah Praktik Pekerja Sosial. Jurnal, Islamic Management and Empowerment Journal (IMEJ). Vol. 1. No. 2.
Astuti.S dkk. 2019. Penelitian victim blaming kasus pelecehan seksual.Jurnal promedia,Vol ke-5, hlm 5-7.
Aulya,E. 2019. Alasan perempuan melakukan victim blaming pada korban pelecehan seksual. Jurnal, JCMS Vol. 4. No. 1.
Campbell, R. & Raja, S. 1999. Secondary Victimization of Rape Victims: Insights from Mental Health Professionals Who Treat Survivors of Violence. Violence and Victims, 14(3), 261-275.
Iqbal. Muhammad. 2020. Pengaruh Prilaku Menyalahkan Korban Dalam Tindak Pidana Kesusilaan Di Indonesia. JOM Fakultas Hukum Universitas Riau Volume. VII No. 2.
Koss, Mary P, and Mary R Harvey. 1991. The Rape Victim: Clinical and Community Interventions. Sage Publications, Inc.
Sakina, A. I., & Siti, D. H. 2007. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Share Social Work Vol. 7 No. 1, 1-29.
Soraya, Atik. 2019. Perempuan dan segala aib yang melekat pada kami.
Shopiani, Bunga, Suci. Wilodati, Udin Supriadi. 2021. Fenomena Victim Blaming pada Mahasiswa terhadap Korban Pelecehan Seksual. Sosietas Jurnal Pendidikan Sosiologi. Vol. 1. No. 2.
The Canadian Resource Centre for Victims of Crime. 2009. Victim Baming.
Post a Comment