Hak Asasi Manusia adalah isu yang saat ini banyak dibicarakan baik itu dari percakapan aktivis maupun media. Di balik semua itu tentunya istilah HAM mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari, karena setiap manusia dalam kehidupannya sudah mempunyai hak-hak dasar sejak mereka dilahirkan.
Hak-hak itu tidak dapat dicabut atau dihilangkan, karena hal itu sama saja menghilangkan kemanusiaannya. Untuk itu setiap hak-hak dasar dari setiap manusia harus dilundungi, baik itu sesama manusia maupun oleh negara.
Gambar. Mengenal hak asasi manusia (HAM) dan sejarahnya. Sumber. pixabay.com |
Hal ini sering disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang saat ini banyak dibicarakan. Di sisi lain pada pembahasan ini kita akan mencoba memahami pengertian HAM sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli, maupun alur sejarah dari hak asasi manusia.
Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Lantas apa itu HAM? Untuk memahami lebih lanjut mengenai ini, alangkah baiknya kita melihat beberapa pengertian Hak Asasi Manusia yang dikemukakan oleh para ahli. Untuk itu hal ini akan diuraikan sebagai berikut:
- Mariam Budiardjo
Menurut (Mariam Budiardjo, 1982, 120) Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia dan telah diperoleh serta dibawanya bersamaan sejak kelahiran maupun kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemudian hak ini berlaku pada manusia tanpa membedakan baik itu bangsa, ras, agama, golongan, jenis kelamin, karena hak dasar itu bersifat universal. Untuk itu semua orang harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya, yang kemudian hal inilah menjadi dasar dari hak asasi.
- Thomas Jefferson
Thomas Jefferson adalah presiden Amerika Serikat yang ketiga, ia memahami HAM pada dasarnya adalah kebebasan manusia yang sebenarnya itu tidak diberikan oleh Negara. Melainkan kebebasan tersebut berasal dari Tuhan yang sudah melekat pada keberadaan setiap manusia. Dan seharusnya negara diciptakan untuk melindungi pelaksanaaan hak asasi manusia. (Majalah What is Democracy, 8)
- Universal Declaration of Human Right
Untuk merespon hal-hal yang berkaitan dengan dehumanisasi, maka kehadiran deklarasi ini menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan. Dilansir dari (Majalah What is Democracy, 20) mengartikan HAM sebagai hak kodrati pada yang ada pada setiap manusia atas berkat pemberian oleh Tuhan, dan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari hakikat manusia.
Sehingga dalam deklarasi ini menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, adanya kebebasan, keselamatan serta kebahagiaan pribadi.
- Filsuf-Filsuf Zaman Auflarung Abad 17-18
Pada masa pencerahan Hak Asasi Manusia (HAM) dikenal sebagai hak-hak dasar atau alamiah yang merupakan karunia Tuhan dan dimiliki oleh semua manusia serta tidak dapat dicabut baik itu sesama manusia maupun oleh pemerintah.
- Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998
Inti dari ketetapan tersebut menjelaskan bahwa hak asasi itu bersifat dasar pada diri manusia yang melekat atau sifatnya kodrati, universal serta abadi sebagai bentuk pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Kemudia hal itu berfungsi demi menjamin kelangsungan hidup, perkembangan, kemerdekaan setiap umat manusia serta masyarakat dan hal itu tidak boleh diganggu gugat maupun diabaikan oleh siapapun.
Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah masalah yang mendasar dan universal, bahkan hal itu sudah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Misalnya perjuangan melawan perbudakan kaum Yahudi di Mesir pada zaman nabi Musa, yang hakekatnya hal itu didorong oleh kesadaran untuk membela keadilan dalam rangka menegakkan HAM.
1. Hukum Hamurabi
Hukum Hamurabi terkenal sangat terkenal pada sejak zaman kerajaan-kerajaan atau pada masa bangsa Babilonia tahun 2000 SM, mereka telah mempunyaai susunan aturan atau hukum yang mengatur masyarakatnya dengan ketentuan-ketentuan menjamin suatu keadilan yang sekarang hal itu kita kenal dengan hukum Hamurabi.
Apa yang menarik dari Hukum Hamurabi ini adalah adanya jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) pada setiap masyarakatnya, yang berkaitan dengan setiap tindakan kesewenang-wenangan dari kekuasaan atau kerajaan.
2. Solon
Solon (640-560 SM) adalah seorang negarawan dan legislator terkenal di Athena kuno. Meskipun tidak ada catatan tertulis langsung tentang piagam hak asasi manusia di Athena pada masa Solon, kontribusinya terhadap pembentukan demokrasi di kota tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari perkembangan hak asasi manusia.
Pada abad ke-6 SM, Athena mengalami periode ketegangan sosial dan ketidakpuasan yang disebabkan oleh kesenjangan ekonomi yang tajam antara kelas elit yang kaya dan rakyat jelata yang miskin. Solon diangkat sebagai arkhon (pemimpin) pada tahun 594 SM dengan tujuan mengatasi masalah sosial dan politik ini.
Solon mengenalkan serangkaian reformasi yang dikenal sebagai Reformasi Solonikus. Salah satu aspek reformasi tersebut adalah penghapusan hutang, yaitu membebaskan rakyat jelata dari beban hutang yang berlebihan dan menghapus perbudakan sebagai hukuman atas utang. Tindakan ini memberikan perlindungan bagi masyarakat yang terjerat dalam siklus hutang dan membantu mengurangi ketidakadilan sosial.
Solon juga mengatur ulang sistem politik Athena dengan memperkenalkan prinsip hukum yang setara bagi semua warga negara. Ia menggantikan sistem kekuasaan aristokratis dengan sebuah dewan legislatif yang terdiri dari tiga kelas sosial: Eupatridae (kelas elit), Geomoroi (kelas menengah), dan Demiurgi (kelas pekerja). Setiap kelas memiliki peran dan hak dalam proses politik. Meskipun sistem ini masih terbatas pada warga negara pria dewasa dan eksklusif terhadap perempuan, budaya politik Solon menandai peralihan menuju inklusi lebih luas dalam pengambilan keputusan politik.
Pengenalan konsep solonikus yang paling terkenal adalah isonomia, yaitu prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Prinsip ini menekankan perlakuan yang sama dan perlindungan hukum yang setara bagi semua warga negara, terlepas dari status sosial atau kekayaan mereka. Meskipun konsep ini belum mencakup seluruh penduduk Athena pada saat itu, merupakan langkah signifikan menuju pengakuan hak asasi manusia.
Dalam konteks Solon, kita dapat melihat upaya awal untuk mengatasi kesenjangan sosial, memperkenalkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum, dan memberikan perlindungan bagi rakyat jelata. Meskipun belum secara langsung berkaitan dengan konsep modern tentang hak asasi manusia, reformasi Solonikus memberikan landasan bagi perkembangan konsep-konsep ini di kemudian hari.
3. Perikles
Perikles (495-429 SM) adalah seorang negarawan dan jenderal yang sangat berpengaruh di Athena kuno. Pemerintahannya, yang dikenal sebagai Zaman Perikles, ditandai oleh perkembangan demokrasi dan kemajuan budaya yang luar biasa di kota tersebut.
Meskipun tidak ada piagam hak asasi manusia yang spesifik dari masa Perikles, beberapa prinsip dan praktik yang dianut pada saat itu dapat dianggap sebagai langkah menuju hak asasi manusia.
Di bawah kepemimpinan Perikles, sistem demokrasi di Athena berkembang pesat. Rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan melalui Majelis Rakyat (Ecclesia) dan dapat memberikan suara dalam pemilihan publik. Meskipun demokrasi pada saat itu terbatas pada warga negara pria dewasa yang memiliki kedudukan dan hak-hak tertentu, hal ini dapat dilihat sebagai awal pengakuan penting terhadap partisipasi politik dan hak-hak warga negara.
Selama masa pemerintahannya, Perikles juga memperluas sistem hukum di Athena. Hukum yang berlaku diterapkan secara adil dan setara bagi semua warga negara, tanpa memandang status sosial atau kekayaan mereka. Pengadilan umum yang diadakan di depan juri warga negara dipraktikkan secara luas, di mana setiap warga negara memiliki hak untuk membela diri dan mendapatkan perlakuan yang adil di hadapan hukum. Prinsip kesetaraan di hadapan hukum ini merupakan langkah penting dalam pengakuan hak asasi manusia.
Selama Zaman Perikles, Athena juga mengalami perkembangan budaya dan intelektual yang luar biasa. Para filsuf seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles menjadi pusat perhatian dan berkontribusi pada pemikiran tentang etika, keadilan, dan hak asasi manusia. Mereka membahas nilai-nilai universal dan martabat manusia, yang menjadi dasar bagi perkembangan konsep hak asasi manusia di masa depan.
Meskipun konsep hak asasi manusia modern belum ada pada masa Perikles, pengakuan atas partisipasi politik, kesetaraan di hadapan hukum, dan perkembangan budaya dan intelektual di Athena pada saat itu memberikan fondasi dan pengaruh yang signifikan bagi pemikiran dan perkembangan hak asasi manusia di masa mendatang.
4. Socrates–Plato–Aristoteles
Sokrates, Plato dan Aristoteles mengemukakan pemikirannya tentang hak asasi manusia dalam kaitannya dengan kewajiban atau tugas negara. Socarates banyak mengkritik praktek demokrasi pada masa itu. Ia mengajarkan HAM, kebijaksanaan, keutamaan, keadilan.
Lebih jauh ditekankan agar warga berani mengkritik pemerintah yang tidak mengindahkan keadilan dan kebebasan manusia. (Bertens, 1971) ajaran ini dipandang sangat berbahaya bagi penguasa, sehingga ia dihukum mati dengan cara minum racun.
Plato dalam dialognya Nomoi mengusulkan suatu sistem pemerintahan dimana petugas atau pejabat dipilih oleh rakyat tetapi dengan persyaratan kemampuan dan kecakapan. Plato berkandaskan pada sistem demikrasi langsung ala Perikles dimana demokrasi yang berjalan justru meminggirkan hak-hak warga. (Bertens, 1971)
Sementara menurut Aristoteles, suatu negara disebut baik apabila mengabdikan kekuasaan untuk kepentingan umum. Ia menawarkan pemerintahan atau Negara Politeia, yaitu demokrasi yang berdasarkan undang-undang.
Dalam sistem ini seluruh rakyat ambil bagian dalam pemerintahan baik yang kaya maupun yang miskin, yang berpendidikan atau tidak berpendidikan. (Bertens, 1971) Secara implisit ia menganjurkan adanya persamaan bagi warga negara tanpa adanya diskriminasi.
5. Magna Charta (15 Juli 1215)
Kesewenang-wenangan raja Inggris mendorong para bangsawan mengadakan perlawanan. Raja dipaksa menanda tangani piagam besar (magna Charta) yang berisi 63 pasal. Tujuan piagam ini adalah membela keadilan dan hak-hak para bangsawan.
Dalam perkembangannya kekuatan yang ada pada piagam ini berlaku untuk seluruh warga. Esensi Magna Charta ini adalah supremasi hukum diatas kekuasaan. Piagam ini menjdi landasan terbentuknya pemerintahan monarki konstisusional.
Prinsip-prinsip dalam piagam ini, pertama kekuasaan raja harus dibatasi, kedua HAM lebih penting daripada kedaulatan atau kekuasaan raja, ketiga dalam masalah kenegaraan yang penting temasuk pajak harus mendapatkan persetujuaan bangsawan, keempat tidak seoran pun dari warga negara merdeka dapat ditahan, dirampas harta kekayaannya, diperkosa hak-haknya, diasingkan kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. (Majalah What is Democracy, 12).
6. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (4 Juli 1776)
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, yang dikeluarkan pada tanggal 4 Juli 1776, adalah dokumen yang menandai awal perjuangan untuk kemerdekaan Amerika Serikat dari Kerajaan Inggris. Deklarasi tersebut mengemukakan sejumlah prinsip dan keyakinan tentang hak asasi manusia yang kemudian berpengaruh besar dalam perkembangan konsep hak asasi manusia di dunia.
Dalam Deklarasi Kemerdekaan, para pendiri Amerika Serikat menyatakan bahwa semua manusia diciptakan setara dan diberikan hak-hak yang tidak dapat dicabut oleh pemerintah. Beberapa prinsip dan hak asasi manusia yang ditegaskan dalam deklarasi tersebut meliputi:
- Hak atas kehidupan, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan: Deklarasi tersebut menyatakan bahwa semua manusia memiliki hak-hak dasar ini, yang dianggap sebagai hak yang melekat pada individu.
- Kedaulatan rakyat: Deklarasi tersebut menegaskan bahwa pemerintah memperoleh kekuasaannya dari persetujuan rakyat dan bahwa rakyat memiliki hak untuk mengubah atau mengganti pemerintahan yang melanggar hak-hak mereka.
- Hak atas kebebasan berpendapat dan beragama: Deklarasi tersebut menekankan hak setiap individu untuk menyuarakan pendapat dan keyakinan mereka tanpa rasa takut atau penindasan.
- Perlindungan hukum yang adil: Deklarasi Kemerdekaan menegaskan hak setiap individu untuk diperlakukan dengan adil oleh hukum dan bahwa pemerintah tidak boleh melanggar hak-hak tersebut.
Meskipun Deklarasi Kemerdekaan tidak langsung menghasilkan sistematisasi hak asasi manusia dalam hukum atau piagam tertulis, ia memiliki dampak yang signifikan dalam perkembangan konsep hak asasi manusia di dunia.
Nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ditegaskan dalam deklarasi tersebut memberikan inspirasi dan pijakan bagi perjuangan hak asasi manusia di masa mendatang, termasuk perjuangan untuk menghapuskan perbudakan, peningkatan hak-hak perempuan, dan perlindungan hak-hak individu secara luas.
Selain itu, Deklarasi Kemerdekaan juga berpengaruh dalam penyusunan Konstitusi Amerika Serikat dan pembentukan Amendemen Pertama, yang menjamin hak-hak sipil dan politik dasar bagi warga negara AS.
7. Revolusi Perancis (14 Juli 1789)
Kesewenang-wenangan raja Louis XIV mendorong munculnya revolusi Perancis. Rakyat tertindak menyerang penjara Bastille yang merupakan simbol absolutism raja. Semboyan revolusi perancis: perasaan, persaudaraan dan kebebasan dalam perkembanganya menjadi landasan perjuangan HAM di Perancis.
Konsep ini bergema ke seluruh penjuru dunia. Revolusi diilhami oleh pemikiran-pemikiran Jean Jaquas Rousseau, Montesqieuw, dan Voltaire. (Majalah What is Democracy, 20).
Revolusi Prancis, yang terjadi antara tahun 1789 hingga 1799, merupakan periode penting dalam sejarah hak asasi manusia. Revolusi tersebut mengguncang tatanan politik dan sosial di Prancis, dan juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan konsep hak asasi manusia di seluruh dunia.
Selama Revolusi Prancis, beberapa peristiwa dan dokumen penting yang melibatkan hak asasi manusia adalah sebagai berikut:
- Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis Nasional Konstituen Prancis mengeluarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Deklarasi ini menetapkan prinsip-prinsip universal tentang hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu dan tidak dapat dicabut oleh pemerintah. Deklarasi ini mengakui hak-hak seperti kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kesetaraan di hadapan hukum, dan hak kepemilikan pribadi.
- Republik Pertama
Setelah jatuhnya monarki pada tahun 1792, Republik Pertama didirikan dan menjadi pemerintahan baru di Prancis. Pemerintahan ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip revolusi, termasuk hak asasi manusia. Meskipun masih ada pembatasan tertentu, seperti hak pilih yang terbatas pada warga negara laki-laki, Republik Pertama menunjukkan perluasan pemahaman tentang hak asasi manusia dan inklusi lebih luas dalam pemilu dan partisipasi politik.
- Penghapusan Perbudakan
Pada tahun 1794, Konvensi Nasional Prancis mengeluarkan undang-undang yang menghapuskan perbudakan di wilayah jajahan Prancis. Ini merupakan langkah awal dalam penghapusan perbudakan dan memberikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang merata kepada semua individu, tanpa memandang ras atau status sosial.
Revolusi Prancis memberikan dorongan kuat bagi pengembangan konsep hak asasi manusia dan melahirkan ide-ide yang mempengaruhi gerakan hak asasi manusia di seluruh dunia.
Meskipun pelaksanaannya tidak selalu sempurna dan terjadi kekerasan serta ketidakstabilan politik selama periode itu, nilai-nilai egaliter, kebebasan, dan kesetaraan yang ditegaskan selama Revolusi Prancis tetap menjadi pijakan utama bagi perjuangan hak asasi manusia di masa depan. Pengaruhnya dapat terlihat dalam dokumen-dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB yang kemudian dikeluarkan.
8. Abraham Lincoln
Abraham Lincoln adalah Presiden Amerika Serikat yang menjabat dari tahun 1861 hingga 1865, saat periode kritis Perang Saudara Amerika. Di tengah konflik tersebut, Lincoln berperan penting dalam memperjuangkan hak asasi manusia, terutama dalam konteks penghapusan perbudakan di Amerika Serikat.
Sebagai seorang politisi anti-perbudakan, Lincoln secara konsisten menyuarakan pandangannya bahwa perbudakan bertentangan dengan prinsip-prinsip kemerdekaan dan kesetaraan yang ditegakkan dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Salah satu momen penting dalam sejarah hak asasi manusia yang terkait dengan Lincoln adalah penerbitan Proklamasi Emansipasi pada tanggal 1 Januari 1863.
Proklamasi Emansipasi adalah keputusan presiden yang memerintahkan pembebasan seluruh budak yang berada dalam wilayah negara Konfederasi yang memberontak. Meskipun proklamasi ini tidak secara langsung menghapuskan perbudakan di seluruh Amerika Serikat, tetapi ia memiliki dampak yang signifikan dalam perjuangan hak asasi manusia.
Proklamasi Emansipasi menegaskan bahwa perbudakan adalah inkonstitusional dan membuka jalan bagi abolisi perbudakan secara lebih luas melalui Amendemen Ketiga Belas Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1865, setelah Lincoln meninggal.
Selama kepemimpinannya, Lincoln juga berjuang untuk mewujudkan hak-hak sipil dan politik bagi orang-orang kulit hitam yang telah dibebaskan. Dia mendukung upaya untuk memberikan hak pilih kepada warga kulit hitam, dan berusaha memperjuangkan kesetaraan di hadapan hukum serta perlindungan hak-hak asasi manusia mereka.
Sayangnya, Lincoln tewas dibunuh pada bulan April 1865, sebelum perang berakhir secara resmi dan sebelum semua perubahan yang diinginkannya dalam perlindungan hak asasi manusia dapat direalisasikan sepenuhnya. Meskipun demikian, warisannya sebagai presiden yang berjuang melawan perbudakan dan mendorong kesetaraan hak asasi manusia menjadi landasan bagi perjuangan lebih lanjut dalam perlindungan hak-hak individu di Amerika Serikat, termasuk perjuangan gerakan hak sipil yang berkembang pada abad ke-20.
9. Franklin D. Rosevelt
Franklin D. Roosevelt, yang sering disebut sebagai FDR, adalah Presiden Amerika Serikat yang menjabat dari tahun 1933 hingga kematiannya pada tahun 1945. Masa pemerintahan Roosevelt ditandai dengan perjuangan untuk mengatasi Depresi Besar dan kebijakan-kebijakan progresif yang memiliki dampak penting terhadap perkembangan hak asasi manusia di Amerika Serikat.
Di bawah kepemimpinan Roosevelt, beberapa peristiwa dan kebijakan yang relevan dengan hak asasi manusia adalah sebagai berikut:
- New Deal
Roosevelt mengeluarkan serangkaian program ekonomi yang dikenal sebagai New Deal untuk merespon Depresi Besar. Program-program ini bertujuan untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan meningkatkan kondisi hidup rakyat Amerika. Program-program New Deal mencakup inisiatif untuk menciptakan lapangan kerja, menyediakan bantuan sosial, dan melindungi hak-hak pekerja, seperti hak untuk berserikat dan bernegosiasi.
- Kebijakan Hak Sipil
Roosevelt mendukung kebijakan hak sipil yang bertujuan untuk mengatasi diskriminasi rasial dan melindungi hak-hak individu dari kelompok minoritas. Pada tahun 1941, ia menandatangani Perintah Eksekutif 8802, yang melarang diskriminasi rasial dalam pekerjaan di sektor pertahanan. Ini menjadi langkah awal dalam perjuangan untuk melawan segregasi dan mempromosikan kesetaraan rasial di Amerika Serikat.
- Four Freedoms
Dalam pidatonya pada tahun 1941, Roosevelt mengemukakan konsep Four Freedoms (Kebebasan-Kebenaran). Konsep ini termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kekurangan. Roosevelt menggarisbawahi pentingnya hak-hak asasi manusia dalam menciptakan dunia yang bebas dan damai.
Selama masa pemerintahan Roosevelt, perhatian terhadap hak asasi manusia menjadi lebih menonjol dan menjadi bagian dari kebijakan dan retorika pemerintah. Kebijakan-kebijakan dan program-program yang diluncurkan oleh Roosevelt secara langsung atau tidak langsung berkontribusi pada perlindungan hak-hak individu, perlindungan ekonomi, dan pemberantasan ketidaksetaraan sosial di Amerika Serikat.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun Roosevelt memiliki dampak yang signifikan dalam mengadvokasi hak asasi manusia, masih ada tantangan dan batasan dalam implementasinya. Masalah seperti segregasi rasial dan penahanan kamp interniran Jepang-Amerika selama Perang Dunia II menunjukkan bahwa perjuangan untuk hak asasi manusia tetap berlanjut. Namun, peran Roosevelt dalam memperjuangkan hak asasi manusia memberikan landasan penting bagi perjuangan hak asasi manusia di masa depan di Amerika Serikat.
Referensi
Bertens, K. 1971. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius.
Majalah, What is Democracy. 1991. United State Information Agency.
Mariam Budiharjo. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia
Post a Comment